JOURNEY TO PAPANDAYAN MOUNTAIN
#Scene 1st
(4/07/2008)
Hari ini, Jum'at, saya ambil cuti satu hari just wanna go to outer place of Cikarang, tiada lain ingin mencari kesegaran alami, juga ingin memaknai perjalanan kali ini sebagai perjalanan yang memiliki arti penting dalam rangka memelihara lingkungan alam yang akan saya datangi. Dengan kata lain, tujuan utama perjalanan saya kali ini sebagai salah satu partisipasi saya dalam memarakkan upaya kawan-kawan dari Ilalang (organisasi/lembaga penyelenggara outbond) untuk konservasi lingkungan alam khususnya alam sekitar Gunung Papandayan di daerah Garut, Jawa Barat.
Awal dari Permulaan
Rencana awal dari penyelenggara adalah mengumpulkan paling tidak hingga 40 orang partisipan untuk dapat bergabung dan meramaikan program konservasi alam yang bertajuk Heal the Earth ini. Namun karena berbagai hal yang berkaitan dengan individu yang awalnya akan berangkat kemudian tidak jadi berangkat, maka panitia dari Ilalang memutuskan untuk tetap memberangkatkan sekitar 24 orang yang sudah datang di basecamp Lemah Abang, Cikarang. Hanya saja pada rencana awal yang akan men – carter kendaraan truk terpaksa dibatalkan mengingat jumlah peserta yang hanya 24 orang.
Pemberangkatan pertama pada hari Jum'at (4/7/08), jumlah peserta adalah 19 orang, sisa yang 4 orang akan menyusul pada hari Sabtunya, mengingat 4 orang tersebut masih harus masuk kerja di perusahaan mereka masing-masing.
Saya sendiri ikut rombongan yang berangkat pada hari Jum'at. Saya berangkat dari rumah saya di Depok pada hari Kamisnya sekalian masuk kerja shift dua, karena saya perhitungkan tidak akan tercapai waktu yang tepat bila pulang kerja ke Depok dulu dan pagi-pagi mesti ke Cikarang lagi. Dengan membawa tas carrier yang sudah saya pack jauh hari sebelum hari H, pagi hari di Jum'at 4 Juli 2008, saya langsung ke basecamp Ilalang tempat kumpul dan briefing sebelum pelepasan keberangkatan.
Pada kesempatan briefing itu saya sempatkan berkenalan dengan beberapa peserta lain yang bergabung dengan kita di Ilalang. Untuk sekedar diketahui, peserta adalah campuran dari sebagian aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Organisasi Pecinta Alam NEPALA ( PT Nesinak Pecinta Alam), dan beberapa dari kalangan umum, pekerja/karyawan perusahaan di kawasan industri Cikarang. Para peserta yang bekerja di beberapa perusahaan tersebut ada yang ambil cuti ada juga yang memang dapat izin khusus dari perusahaannya sebagai sponsor atau pendukung program ini.
Memang, beragamnya latar belakang dari peserta yang mengikuti acara ini benar-benar menambah kualitas dari visi dan misi program konservasi alam tersebut. Mengapa? Karena dengan keberagaman latar belakang dan pemikiran yang dibawa oleh peserta tersebut maka acara ini lebih bermakna silaturahim antar golongan yang notabene beragama Islam untuk bersama-sama mewujudkan satu persamaan yakni upaya mencintai dan melindungi alam sebagai salah satu anugerah terindah yang Diciptakan Allah Rabbul Alamin. Saya bersyukur sebagai Umat Islam yang tercipta di muka bumi ini karena bisa "sedikit" saja berpartisipasi dalam acara ini, sehingga ada torehan sejarah dalam hidup saya dalam melindungi dan men-tafakuri Kebesaran-Nya.
#Scene 2nd
Sekarang saya akan menceritakan rentetan pengalaman saya dimulai dari keberangkatan awal dari menapak kaki di atas bus antarkota jurusan Cikarang – Garut, sebagai berikut:
Mengingat tidak tersedianya kendaraan truk yang sudah saya terangkan alasannya di atas, maka pilihan panitia jatuh pada menumpang bus kota (pastinya menumpang plus bayar ongkos numpangnya donkk..). Untuk ongkosnya, telah dikolektif oleh panitia yang sudah termasuk biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000,- Itu untuk seluruh akomodasi kegiatan sampai dengan kepulangan kita kembali dari Papandayan. Untuk sekedar diketahui, ongkos bus ekonomi Cikarang – Garut adalah sebesar Rp 26.000,- per orang (silakan kalikan sendiri untuk 19 orang jadi berapa tuh?)
Cerita bermula dari sini, ketika rombongan sedang menunggu kedatangan bus ekonomi yang jurusan Garut, seperti biasa hawa "narsisme" (selalu ingin tampil bahwa diri kitalah yang harus selalu lebih diperhatikan,dalam hal ini seperti foto hanya kita sendiri, atau bicara yang bagus-bagus hanya tentang diri kita sendiri) mulai terasa di masing-masing peserta, apalagi yang membawa alat-alat dokumentasi yang cukup mumpuni alias bagus, seperti hape kamera, handycam dan bahkan kamera digital berkekuatan minimal 5 megapixel. Yaap betul take a selfpicture atawa memfoto diri sendiri, baik itu dibantu dengan kawan dari peserta yang lain atau dengan cara memotret diri dengan memegang kameranya sendiri.
Puas memotret, bus yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba di depan mata kita. Satu persatu dari para peserta dikoordinasi oleh panitia untuk naik dan menyimpan bawaan mereka masing-masing dengan sebaik-baiknya. Ladies or akhwat at first dalam hati kecil saya, sehingga saya harus mendahulukan mereka yang berjenis kelamin perempuan untuk naik ke dalam bus terlebih dahulu.
Di dalam bus, saya dapat duduk dekat dengan sopir, yup betul sekali, saya duduk di seat paling depan. Yang lain ada yang di tengah dan ada yang di belakang, karena memang bus saat itu sudah penuh dengan para penumpang yang naik dari terminal Cikarang.
Selama dalam perjalanan saya tak kuasa menahan kantuk, disebabkan semalam saya pulang kerja lembur jam tiga pagi, dan tidur hanya dua jam, bangun Shubuh saja jam 5.30, dan g a bisa tidur lagi karena mesti siap-siap dan sarapan seadanya.
Tetapi tidur saya agak terganggu karena suara hiruk pikuk dan tangisan anak-anak kecil yang ada di dalam bus. Makin lama makin penuh sesak saja ruang gerak dalam bus, saya pun tak bisa menahan rasa iba bila ada ibu-ibu yang menggendong anaknya berdiri di sisi saya, maka tak lama saya relakan seat saya untuk ibu dengan anak yang digendongnya itu.
Waktu normal untuk perjalanan dari Cikarang ke Garut adalah kurang lebih 4 jam via tol Cipularang dan Padaleunyi jalur Purwakarta melalui Nagrek. Tak disangka arus kendaraan ke arah Nagrek makin menumpuk dan merayap, tak pelak macet total di Nagrek harus kita alami. Saat itu jam di hape saya menunjukkan waktu pukul 10.30 wib, rasa gelisah pun muncul karena hari ini adalah hari Jum'at, saat semua umat Islam sudah mulai bersiap-siap menuju masjid Jami' untuk menunaikan shalat Jum'at, rombongan kita justeru sedang di tengah-tengah kemacetan jalur Nagrek. Macet tak kunjung berakhir hingga jam menunjukkan masuknya waktu Jum'atan, dan saya hanya bisa beristighfar karena telah lalai melaksanakan shalat Jum'at tersebut. Tadinya sempat terpikir untuk turun sebentar mengerjakan shalat Jum'at di masjid terdekat dengan jalan, baru saja turun, tak dikira bus langsung jalan, kaget bercampur panik, saya teriaki bus saya tersebut, sang kondektur hanya melambaikan tangannya agar saya mengejar bus.
Saya berlari-lari mengejar bus dan untungnya bus kembali terjebak macet tak jauh dari tempat awal saya tertinggal tadi. Wuih capek dueh…saya kembali naik ke dalam bus dan untung pula ada tukang minuman di atas bus sehingga saya beli saja karena hausnya bukan main setelah berlari mengejar bus.
Kemacetan di Nagrek memang sudah menjadi tradisi bila memasuki weekend atau hari libur nasional dan liburan sekolah. Kemacetan itu bisa sampai tiga jam lamanya, karena jalur ini merupakan jalur utama untuk arus dari arah Bandung ke Jawa Tengah atau sebaliknya, sudah begitu, jalurnyapun bersilangan di tengah-tengah, bila kita dari arah Bandung maka akan menemui persilangan jalur ke kiri bila ingin ke Banjar via Malangbong dan ke kanan adalah tujuan kita, Garut. Jalur tersebut berlaku dua arah sehingga pertemuan antara 4 arah arus yang berlawanan inilah penyebab kemacetan, salah satu harus antri bergantian memberi kesempatan yang lain untuk melintas.
Alhamdulillah macet pun usai dan kita meneruskan perjalanan hingga Garut. Sesampainya di Garut Kota waktu di hape saya menunjukkan jam 13.30 wib. Tak jauh dari tempat kita diturunkan dari bus, terdapat sebuah masjid, sesegera mungkin rombongan termasuk saya bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat Dzuhur dan Ashar secara jama' qashar, seusainya saya terus beristighfar atas tidak terlaksananya shalat Jum'at karena alasan yang insyaAllah masih syar'i di HadapanNya, termasuk rukhsah (keringanan) atau tidaknya apabila kita ingin mencari waktu yang lapang di waktu yang sempit (dalam hal ini adalah bila shalat Jum'at saat macet di Nagrek tadi, namun bila kita shalat maka akan tertinggal oleh bus, sedangkan bus tersebut sudah tentu tak mungkin menunggu salah satu penumpangnya untuk sekedar shalat Jum'at saja).
Seusai shalat, saya sempatkan untuk sekedar tidur walau hanya beberapa menit saja sembari menunggu mobil pick up yang telah dicarter oleh panitia menuju kawasan parkiran di gerbang masuk Taman Wisata Alam Papandayan. Untuk sekedar diketahui, kita mencarter mobil pick up milik salah satu penduduk sekitar seharga Rp 125.000,- untuk sekali antar.
#Scene 3rd
Tidur yang cukup berkualitas, kurang lebih hanya 30 menit terlelap, akhirnya saya dibangunkan oleh kawan –kawan, sebab kendaraan yang ditunggu sudah tiba, pertanda perjalanan tahap ketiga menuju kawasan Papandayan segera dimulai…………..
Dalam hati banyak sekali pertanyaan…apakah muat neeh satu pick up ngangkut 19 orang yang bercampur pula antara pria dan wanitanya. Kalau soal muat tidaknya seeh sepertinya tidak menjadi masalah yang utama bagi saya, yang jadi masalah adalah bila dalam kondisi yang serba ngepas apakah bisa gugur ketidakhalalan bagi kita untuk berdesak-desakkan dengan para akhwat (wanita)? sayapun sadari kondisi dana yang terbatas menyebabkan panitia "menghalalkan" cara yang satu tersebut. Mungkin disinilah pertentangan pemikiran kawan-kawan dari PKS yang mungkin sebenarnya lebih mengerti tentang Ijtima'i (batasan hijab antara pria dan wanita), saya sebagai aktivis HTI yang notabene telah paham bahwa hijab(batasan) tidak hanya berlaku dalam masjid saja, namun dalam kondisi umum pun ada hijabnya yang terkondisikan dengan ketentuan dan syarat yang mengkhususkannya, disini sekali lagi saya beristighfar sebanyak-banyaknya atas ketidaksanggupan saya memaknai ke-mubahan dari kasus tersebut. Okelah itu sebagai pengetahuan saja untuk perbaikan koordinasi ke depannya, dan mudah-mudahan tidak mengurangi kualitas tawadhu' saya untuk berpartisipasi dalam Heal Our Forest ini.
Perjalanan dengan pick up ini menempuh waktu kurang lebih satu jam lebih lima belas menit, karena di beberapa jalan menanjak kami terpaksa harus menurunkan diri agar mobil bisa jalan lagi atau sembari kita dorong….wuiiihhh.
The Last but not Least saya dan rombongan sampai juga di pelataran parkir Taman Wisata Alam Papandayan. Barang-barang bawaan para peserta pun dibongkar dari pickup dan saya pun merasa lega, karena terbebas dari rasa kesemutan yang hebat selama naik di ujung paling belakang bagian pick up tersebut.
And then ambil pose alami dahulu untuk dipotret, sebagai kenang-kenangan dan of course untuk upload di blogs atau friendster saya.
#Scene 4th
Semua perlengkapan di bongkar disini. Sementara saya beserta beberapa panitia laki-laki mencari tempat atau lahan yang pas untuk mendirikan tenda. Setelah mencari kesana kemari, akhirnya kami temukan tempat yang benar-benar pas untuk pendirian tenda tersebut.
Untuk tempat laki-laki jelas harus dipisah dengan yang perempuan. Alhamdulillah tak jauh dari perkemahan ada sebuah mushalla, sehingga kita tak perlu repot bila ingin mengerjakan shalat.
Waktu di handphone menunjukkan jam 17.15 wib, dan tenda-tenda sudah berdiri dengan kokoh di atas lahan yang sebenarnya cukup keras sebab material di bawahnya banyak terdapat bebatuan.
Logistik yang dibawa oleh masing-masing peserta ada yang disetorkan ke panitia yang perempuan untuk diminta tolongnya dimasak atau disuguhkan bagi yang tidak membawa perlengkapan memasak sendiri, termasuk itu saya yang memang hanya membawa mentahnya saja tanpa membawa perlengkapan untuk mengolahnya.
Seperti biasa, karena ada rukhsah bagi para musafir dari Allah untuk mengumpulkan dua waktu shalat di satu waktu, maka saya diimami oleh panitia yang lebih kompeten dalam hafalan surat-surat Al Qur'an, menjalankan shalat Maghrib dan Isya di waktu Maghrib, Maghrib 3 rakaat dan Isya diqashar menjadi 2 rakaat.
Acara di malamnya adalah pemutaran film dokumenter tentang kebakaran Papandayan setahun lalu yang alami diakibatkan oleh gesekan tanaman-tanaman alang-alang atau rerumputan kering yang bisa menimbulkan panas dan dalam hal ini menyebabkan percikan api yang mampu menghanguskan sebagian hutan di kawasan Papandayan.
Selesai acara para peserta dipersilakan bertanya ataupun berdiskusi dengan tema konservasi, namun tanpaknya hanya sedikit yang memahami apa itu konservasi, sehingga justeru lebih banyak yang bertanya daripada mengungkapkan fakta-fakta terkait.
Saya sendiri hanya terdiam menahan dinginnya suasana malam di Papandayan sehingga tidak banyak komentar apalagi bertanya. Tak lama, mata saya pun turun voltasenya hingga 5 watt, sehingga harus segera dipadamkan alias tidur…..dan ….. memang saya tertidur di dalam tenda berukuran empat orang tapi hanya diisi oleh tiga orang….tidur nyenyak dalam kemulan sleeping bag yang ternyata tidak mempan menahan masuknya hawa dingin ke dalam tenda…………..yaaa…sudahlah…inilah survive in the jungle..so..enjoy it…
#Scene 5th
(05/07/2008)
Hari ini, Sabtu pagi yang dingin dan kering (maklum di musim kemarau, Papandayan memang kerap sangat gersang tetapi suhu dinginnya tetap tak bertambah – bisa turun sampai 3OC), saya terbangun pada pukul 04.45 wib, dan pertanda bahwa harus bersegera shalat Shubuh.
Usai melaksanakan shalat Shubuh, saya kembali ke tenda untuk merapikan sleeping bag dan mengambil perlengkapan mandi. Memang suhu saat itu agak ekstrim bila mandi saat itu juga, tetapi badan saya terasa kurang segar bila tidak tersentuh air, so mandi saja walaupun suhu air seperti suhu air dalam kulkas.
Waktu di hape saya pun telah menunjukkan jam 7 pagi teng, sudah saatnya bersiap-siap packing dan membersihkan daerah sekitar tenda yang apabila ada sampah mesti dibawa atau yang tidak berguna bisa dibakar di tempat yang disediakan panitia, itu adalah sedikit upaya pertama kita dalam upaya menyelamatkan alam lingkungan khususnya di Papandayan agar terbebas dari sampah yang sulit teruraikan atau yang bisa terurai tetapi dalam jangka waktu yang sangat lama.
Setelah semua peserta membenahi masing-masing tenda dan package nya, maka tiba waktu untuk briefing oleh panitia, menerangkan rute perjalanan berikutnya menuju tempat camping atau shelter yang biasa dinamakan Pondok Selada yang berada pada ketinggian 2.500 M DPL, beberapa meter sebelum mencapai Puncak Papandayan.
Sebelum keberangkatan, panitia mempersilakan untuk mengambil gambar bersama-sama sebagai kenang-kenangan bersama seluruh rombongan.
#Scene 6th
The journey is beginning………saatnya mengecek kelengkapan carrier dan bergegas untuk bergabung kembali ke rombongan. Perjalanan kali ini akan lebih melelahkan, sebab track yang akan dilalui mulai cadas dan berbatu. Sepanjang perjalanan saya menemui banyak sekali sumber-sumber uap panas yang mengeluarkan gas belerang, dan menurut sejarahnya, beberapa tahun yang lalu sumber-sumber uap panas tersebut terbentuk akibat ledakan hebat Gunung Papandayan yang membuka pori-pori dari struktur bebatuan yang membentuk pegunungan Papandayan ini. Bisa saya gambarkan bahwa luapan beberapa uap panas ini ada yang berbentuk lumpur seperti yang ada di Sidoarjo, Lumpur Lapindo.
Bau gas belerang pagi itu membuat saya terbatuk-batuk dan sedikit "menangis" karena kepedihan terkena asapnya. Beberapa peserta perempuan beristirahat di belakang saya, sehingga rombongan harus berhenti juga agar yang di belakang tidak tertinggal.
Perjalanan saat itu cukup melelahkan, bukan karena tracknya yang sulit, tetapi memang saat itu sinar mentari yang terik menambah percepatan dehidrasi pada tubuh. Saya sendiri memilih untuk tidak terlalu banyak minum sebab memang persediaan air minum saya saya letakkan di dalam carrier, sehingga agak ribet untuk mengambilnya, tetapi cukup meminta pada kawan yang lain yang membawa persediaan airnya dengan ditenteng dengan tangan mereka.
Sekitar jam 13.30 wib rombongan sampai di perkemahan yang letak geografisnya berada pada ketinggian 2.600 an meter di atas permukaan laut (mdpl). Seperti biasa, para ikhwan (rombongan yang berjenis kelamin laki-laki) bersama-sama mencari lahan yang pas untuk mendirikan tenda. Setelah ditemukan tempat yang dirasa pas dan nyaman, tenda pun segera didirikan. Saya membawa dua tenda dan kedua-duanya saya dirikan dibantu dua orang kawan lainnya.
Tenda sudah berdiri, kita pun bersiap-siap untuk bersegera menjalankan shalat Dzuhur di jama' qashar dengan Ashar masing-masing jadi 2 rakaat secara berjamaah. Usai shalat, para akhwat (rombongan perempuan) mulai menyiapkan makan siang, sebagian ada yang berupa nasi bungkus yang memang sengaja dibeli di warung yang ada di dekat parkiran, agar makanan kita bervariasi dan tidak membosankan.
Kegiatan siang hari itu hanya sekedar ramah tamah dengan alam sekitar kita. Rencananya sore nantinya kita akan survey lokasi penanaman yang menjadi acara pamungkas dari seluruh perjalanan ini. Sementara para panitia berdiskusi dan berdialog dengan salah satu warga yang memang sengaja diikutsertakan dalam acara ini, saya mengambil kesempatan itu dengan tidur siang di dalam tenda yang walaupun terasa cukup panas tetapi apa daya rasa itu tenggelam oleh kantuk yang tak tertahankan.
#Scene 7th
Tidur harus diakhiri, sebab saya dibangunkan oleh panitia untuk bersiap-siap berkeliling daerah yang pernah terbakar hebat setahun lalu di Papandayan ini, dan juga untuk mengenali bermacam-macam jenis tanaman yang sempat tumbuh kembali setelah peristiwa naas setahun lalu tersebut.
Selama acara berkeliling para peserta yang didampingi oleh Mang Ipin, salah seorang penduduk yang diikutsertakan dalam acara ini, sangat antusias mendengarkan penjelasan mengenai nama-nama dan manfaat dari beberapa tanaman yang kita temui selama berkeliling tersebut. Sebagian peserta ada yang sengaja mencatat hasil dari penjelasan Mang Ipin tersebut, sebab hasilnya nanti akan ada doorprize yang akan diberikan bila berhasil menjawab beberapa pertanyaan seputar hasil dari penjelasan Mang Ipin .
Ada sekitar satu jam setengahan saya beserta rombongan berkeliling dan memperoleh beberapa ilmu yang disampaikan oleh Mang Ipin mengenai vegetasi dan survival di Papandayan. Saat akan kembali ke perkemahan saya dan rombongan sempat mengambil gambar persis saat kita melintasi perkebunan eidelweis. Namun saat itu untungnya tak ada diantara kita yang iseng memetik sang bunga abadi tersebut. Biarlah mereka tumbuh dengan habitat asli mereka di tempat ini.
Saat tiba di tenda, ada beberapa anggota dari Nepala yang mengajak saya untuk mengunjungi Pondok Selada yang merupakan tempat tumbuh suburnya tanaman eidelweis. Saya pun turut serta ke Pondok Selada. Jarak dari perkemahan kita dengan Pondok Selada tidak terlalu jauh, bila ditempuh dengan jalan santai saja hanya memakan waktu setengah jam lebih. Di tempat ini pulalah saya dan yang lainnya selalu menyempatkan take a picture.
Malamnya, acara mayoritas berisi tentang sharing dan berbagi pengalaman, yang diutarakan oleh bapak Irawan selaku direktur atau pimpinan dari lembaga Ilalang ini. Sembari beliau bercerita tentang pengalaman-pengalamannya, saya dan beberapa orang laki-laki yang lain menjaga api unggun agar senantiasa menyala, sehungga dapat menghangatkan sekitar yang saat itu memang sangat dingin.
Saya tak bisa berlama-lama untuk terus terjaga, apalagi menjaga api unggun untuk tetap menyala. Sesaat setelah pak Irawan menyelesaikan ceritanya, saya pun bergegas kembali ke tenda karena sudah sangat mengantuk dan kedinginan di luar sana.
#Scene 8th
Pagi hari sekitar pukul 4, beberapa dari peserta ada yang melaksanakan qiyamulail (ibadah malam) dengan shalat tahajjud diteruskan dengan membaca almatsurat pagi. Saya sendiri hanya melakukannya di dalam tenda, karena tak tahan dengan udara yang saat itu amat dingin.
Saat menjelang sunrise (matahari terbit), seluruh peserta dan beberapa pendaki lain yang ada di sekitar kita berkerumun menanti dan mengabadikan momen tersebut, sebab prosesi sunrise yang kita saksikan dari ketinggian Papandayan ini benar-benar membuat takjub sekaligus perasaan bangga yang tinggi akan kesempatan yang kita dapati ini.
Setelah menyaksikan sunrise saya pun kembali ke tenda untuk beres-beres dan bersiap untuk olahraga pagi. Cukup dengan lari-lari kecil dan peregangan otot-otot yang kaku akibat dinginnya udara malam di Papandayan ini.
Sekitar pukul 8 pagi seluruh tenda, bawaan masing-masing peserta dan carrier telah rapi dan siap untuk diangkut kembali turun. Kali ini kita akan turun, setiap peserta yang menghasilkan sampah-sampah selama konsumsi atau kepentingan lain yang memang menghasilkan sampah, diminta kesadaraannya untuk dimusnahkan dengan jalan dibakar, hal ini dimaksudkan agar sampah-sampah yang notabene sulit terurai dapat dengan mudah terurai setelah menjadi abu.
#Scene 9th
Dalam perjalanan menuju ke bawah atau lahan parkiran, rombongan melewati jalur yang berbeda, bukan tanpa sebab, jalan yang pada saat keberangkatan dilewati, pada saat akan kita lewati ternyata sudah longsor, mungkin kejadiannya saat malam hari. Memang permukaan tanah di sepanjang jalur tracking pendakian sudah agak rapuh alias gampang longsor.
Para akhwat dipersilakan berjalan lebih dulu, tentunya dengan diiringi salah satu koordinator ikhwan agar tidak terjadi salah jalan atau hal yang tidak diinginkan lainnya. Perjalanan menuruni kawasan Papandayan memang lebih cepat dibandingkan pada saat menaikinya, hal tersebut berlaku pula bila kita menuruni gunung-gunung lainnya.
Alhamdulillah saya beserta peserta yang lain telah sampai di pelataran parkir, tempat awal kita tiba, singgah dan mendirikan tenda. Di pelataran parkir inilah saya dan peserta lainnya beristirahat dan membuka perbekalan-perbekalan sisa sejak dari atas. Sementara para panitia sibuk mengurusi acara selanjutnya, saya mencoba untuk relaksasi dan mengendurkan urat-urat yang tegang akibat perjalanan menuruni Papandayan.
Akhirnya panitia memutuskan untuk kembali melanjutkan berjalan kaki menuju lokasi penanaman tanaman, yakni di pedesaan tempat bermukim penduduk setempat, tepatnya kita akan singgah terlebih dahulu di kediaman mang Ipin.
Ternyata perjalanan menuju kediaman Mang Ipin pun tak kurang dari satu setengah jam berjalan kaki. Beberapa perkebunan milik penduduk setempat pun menjadi jalan utama rombongan, karena memang tak ada lagi jalan lain yang menuju kediaman mang Ipin.
Sesampainya di kediaman mang Ipin, rombongan dijamu dengan makan siang ala kadarnya, dan sangat bernuansa pedesaan. Selesai makan siang, satu persatu peserta bergantian berjamaah shalat Dzuhur yang dijama' dengan shalat Ashar.
Acara puncak pun dimulai tak lama setelah seluruh peserta mengerjakan shalat. Beberapa dari peserta ada yang sudah lebih dulu berangkat ke ladang yang akan dijadikan sebagai lahan penanaman. Setiap peserta membawa dua polybag berisi tanaman yang sudah dipersiapkan oleh mang Ipin. Beberapa jenis tanaman tersebut memang sengaja disiapkan jauh hari sebelum kedatangan kita, sehingga memang sudah terencana dan terpetakan dimana saja akan ditanam tanaman-tanaman tersebut.
Alhamdulillah seluruh rangkaian acara bertemakan Heal The Earth ini berakhir dengan diselesaikannya prosesi penanaman dan tak lama para peserta pun harus berpamitan kepada mang Ipin beserta beberapa penduduk sekitar yang turut membantu kelancaran berjalannya acara. Perjalanan kembali ke Cikarang menggunakan kendaraan umum bus ekonomi Garut-Jakarta. Peserta yang tinggal di Cikarang terpaksa harus turun di sisi jalan tol Cikarang, karena memang bus tidak keluar di Cikarang. Sementara saya dan beberapa peserta yang tinggal di Jakarta bisa ikut bus sampai Pasar Rebo. Saya turun di Pasar Rebo dan melanjutkan dengan naik angkot untuk jurusan Cimanggis.
Subhanallah ini akan menjadi salah satu kisah perjalanan amaliah pertama saya setelah beberapa kali mendaki gunung yang belum pernah bertajuk seperti acara Heal The Earth ini. Dan mudah-mudahan akan menjadi pemicu bagi kawan-kawan pendaki untuk mencanangkan prinsip dalam jiwa bahwa kita sebagai pencinta alam bukan hanya datang untuk menikmati alam tetapi juga untuk melindungi dan memelihara alam, sehingga anak cucu kita dapat merasakan kenikmatan alam seperti apa yang kita rasakan saat ini……….wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh….